Selasa, 20 Juni 2017

Takdir Tak Terbeli


sudah pagi waktu matahari
di sebuah kota tak hujan
digentayangkan pudar debu kelabu
hinggap berterbangan jadi batu-batu

sabarlah menanti
bayangan gambar mati
atau buah-buah keemasan sang mentari
mungkin gerimis turun sesuka hati
menggerakkan kemana kau akan pergi

tenggelamlah dalam gelisah terindah
saat angin dan dingin tlah bersekutu
menusuk tulang rusuk yang berpacu

kita pernah sampai pada titik terendah
dan pergi tanpa bayang
di tempat berpijak tak berjarak
saat masalalu mengubur tubuhmu
dalam pelukanku

sementara di timur jauh
petani embun menabur benih kasih
sarat luka
pasrah dalam renta

tlah kita ukir kenangan
kepedihan tak terelakkan
layaknya setangkai padi
goyang kabur kanginan
menghampar ke jagad terdalam


2017

Selasa, 02 Mei 2017

Terdiam Menerima Hujan

 


––– untuk ia yang mati muda di pangkuan: Warno

Aku sudah menengadah ke langit yang pemurah. Ku tahu, hujan berjanji mau jungkir balik mengganti perjalanan matahari. Lihatlah, cinta lebih tenteram di keteduhan, di antara derai air mata yang mengiris palung hati terdalam.

Kuperdengarkan padamu, embun terlalu jauh lebur, berkejaran melawan fatamorgana. Dan, hujan lebih erat memelukmu sambil terus menyempurnakan ruh sepi hidupku.

Bagaimana mungkin, gemuruh di luar ikut membungkam, memenang-menangkan diri ? Bolehkah aku bergumam sendiri: "Kabut akan menghalangi euforia dan histeri. Barangkali, matahari masih bersembunyi di bawah pergulatan nilai samar dan bentuk pertunjukan".

Terlampau jauh tetes keringat bersetubuh, sedang kopi terlanjur menggumpal keluh. Jangan pernah tergoda, jangan pula bertepuk tangan leluasa. Tugas hujan hanya menyejahterakan seisi desa.

Coba saksikanlah,
Tanah yang indah, dengan duka dan api yang memancar.
Tanah yang indah, melayarkan kuburmu sebagai awal istirahatmu.

Begitulah adanya,
Semua menjadi layak ditulis dan diwartakan. Apa alasan hujan tak menyertai, bahkan memberkati ?


Salatiga, 2 Mei 2017

Sajak Merbabu

 
dengan puisi ingin kutulis
bahwa tubuhmu
pernah saling bertemu
di antara tiga titik nafasku

dengan cara yang sama
kurakit doadoa
saat matahari begitu rendah
seangkuh kenangan kota bungkam ini
ngembara menjelma tanpa permisi
datang dan pergi

Merbabu tak lahirkan dendam
takdir baik-buruk
tak mampu membangun kesunyian
satu persatu rindu terusir
tak selalu mesra
tak selalu erat dari katakata
tak seindah yang kau duga
tak seindah yang semestinya

di bawah Merbabu yang rekah
pasti puisi ditulis maddah
tapi sekali waktu
aku ingin meyakinkanmu
engkaulah degup jantung yang terujar
narasi yang takkan luruh di antara
derasnya metafora dan hiperbola
sepanjang sejarah-sepanjang kisah

dan semua kemungkinan-kemungkinan
sepanjang purnama ketujuh
dari mata renungku
kan kau dapatkan nikmat kesia-siaan
airmata gelandangan

bukankah sudah sepantasnya
tanpa rupa kau mendekat
denyut nadiku, tatap matamu
mengaburkan perangkap dan jerat
menumbuhkan sayap
terbang mencapaimu
memeluk erat tubuhmu

langit biru kaki Merbabu
saksi bisu mozaik pesonamu, acuhkanku


Salatiga, 2 Mei 2017

Menyusun Sunyi

 
mereka mengenalku
dan mengerti
lewat hari-hari lalu
juga dari luka yang berdiri sekali-kali
di ujung batang-batang ilalang berdiri

sekali waktu
pabila gelisah prasasti janji
menyemburat bagai kitab bergambar
aku ingin menyusun sunyi
sebelum sawah-sawah desa
jadi jalan-jalan raya

kota ini seribu makna
yang mencipta tunas-tunas hidup penggembala
sampai darah-darah menghias masa lalunya
meski takdir latah meniru ganas kediaman pandang
melunasi kehilangan-kehilangan dan dendam
dingin selalu berkenan mampir
bersenandung dalam kelopak hari langit mekar
memerangi retorika ayat-ayat semesta

Tuhan pun menegurku
tuk tertawa seperti biasa
agar tak kehilangan asal keberadaan
di bumi terendah
kaum papa-sudra
apakah hidup adalah kehidupan
ataukah ternyata kematian
ketika hari-hari lelah ngalir tanpa beban
membangun kesunyian

betapa dalam kugali masa kanak-kanak
melunasi tantangan diri
tak sempat permisi-permisi
aku bertanya: “di mana emprit menyusun sarang, mengeram kerinduan ?
masih ingatkah kau kapan saat memetik bintang, mencium kening rembulan ?”
“oh, kini mereka menjelma monumen abadi, dalam penyerahan senyum keikhlasan” jawabmu

ingatlah, 2 Agustus 1876
Rimbaud datang di antara sajak pembebasan
dicekam jalan-jalan terjal
tetap teguh tegak
seperti Majnun lebur dalam cinta
menjelang hilang
sebagai elang bersayap cahaya
sirna di depan prasasti
mencatat kisah di negeri rempah-rempah pedas dan basah
aux pays poivrés et détrempés

lihatlah, adik-adik kita
terbaring tak berdaya
bersimpuh luluh
memohon kemurahan
diletakkan sebagai bagian kefakiran bapak-ibu mereka
jangan tanyakan kenapa aku tak mampu meningkatkan kesabaran
oh, hidup akan selalu berputar
atas-bawah silih berganti

lihatlah, ketiga adik perempuanmu
remaja prawan anyaran
mencium kelahiran matahari
menyemayami alam bawah sadar
sekurang-kurangnya mereka menegakkan kemesraan
dekat di sisiku
saling meremang rindu
tak hanya lewat sekedar doa
jangan tanyakan seberapa besar penglihatan mereka atas derita
atas ketersediaan ruang untuk paham

kalau kau mau
sampaikanlah pada malaikat-malaikat Tuhan
agar hatiku tak diyatimkan
sedangkan kau dimuliakan
sekarang perkenankan aku memadamkan lampu-lampu
mengunci pintu


Salatiga, 2 Mei 2017

Dengan Kain Penutup Mata


dalam remang lampu milik peladang
dengan jelas kupandang
kaki Merbabu melukis cahaya
bayang-bayang sebuah antara
seperti kerut di wajahmu
mata hampa
yang perlahan gerhana

mestinya kutahu dari dulu
kerdip bintang-gemintang
ialah pertanda kesuburan cinta
namun nafasmu perlahan memudar
hilang tanpa rahasia
satu-persatu rindu mengaburkan dungu wajahku
bahkan untuk seorang gadis yang kasmaran
menggelantungkan bejibun harapan

di mana kau letakkan pandang ?
di mana bumi berpijakmu ?
mau ke mana lagi kakimu melangkah pergi ?
dongeng cinta dan mitos tentang kasih takkan terulang
di mana sekarang kenangan yang dulu kau banggakan ?

ah, kutahu...
sendiri jadi doa bagimu
tapi ziarahku ialah saksi
menipisnya penanggalan diri dunia kecilmu
yang menyekat jarak kasih dan kegelapan
dari nyalangnya tabir waktu

tengah malam
kucium lagi rembulan di keningmu
engkau tersenyum
dalam penyerahan kecemasan dan ketakutan
menembusi buah-buah masak
yang tertinggal di kepalan jari tangan

dengan kain penutup mata
maukah kau mengantarku keluar ke taman kaca
melalui labirin koridor istana
maukah kau mengantarku melampaui cahaya
tempat bersendawa menggantungkan cita-cita


Salatiga, 2017

Senin, 01 Mei 2017

Jika Kau Berkenan

 
aku cukup bersamamu saja
dalam bias batas antara surga dan neraka

aku cukup bersamamu saja
dalam nikmat libido kesementaraan

aku cukup bersamamu saja
dalam persenggamaan gelombang kerinduan


Kulon Progo, 1 Mei 2017

Minggu, 30 April 2017

Andai yang Kutahu Hanya Itu


––– diadopsi dari “Sabda Zarathustra” karya Friedrich Nietzsche

Daun-daun gugur terbawa angin santer di sela janji yang menjanjikan, sampai sekian lama mempersempit jalan buntu. Kenapa harus bersedih oleh kekalahan, kalau kau sendiri takkan bergembira oleh kemenangan ? Masihkah kau percaya omong besar mereka saat bertepuk dada ? Kalau mau memukul, pukullah saron atau bonang – jangan memukul nasibku !

Tapi, aku malu terhadap penantianku. Aku pun memahami senyum sendumu: kelembutan di antara semua petani kelapa dan aritnya. Sesungguhnya, Zarathustra pun takkan mampu melihat kelimpahan pesonamu. Bagaimana lagi masa depan dan masalalu disatukan jika tidak denganmu ? Siapa yang dapat menemukan nama baptis dan penghormatan untuk kerinduan seperti itu ?

Di ruang berobituari, lekat kupandang lilin nyala di kamar temaram: tempat dulu sendok kopi berdenting menggeriapkan pandang dan menyatukan sekalian debu. Terberkatilah kabut pekat yang menjelma hangat bayang dirimu. Maka, biarkanlah hening malam tercipta; resahkan rasa. Akan kuajarkan menebak teka-teki menembus kebetulan-kebetulan dalam tirakat panjang.

Belum pernah aku menemukan sebuah kedatangan yang tak terbaca oleh semua prasangka. Aku terdampar kemari dalam batas kegilaan dan kewarasan, dimana taman-taman bunga diupacarai dan ditebangi.

Kau tutur berbagai peristiwa dan ragamnya:

Di luar, laba-laba mencipta maut lain, menjembatani para lebah yang tak dapat pulang. Mereka tertatih minta diterjemahkan meski dingin masih lagi bertandang; hinggap dan menggelepar sembari menawarkan sekuntum mimpi agar utuh satu saja kenanganku.

Itulah rasa muakku pada semua asal-keberadaan !

Lihatlah, leleh airmataku ketika kutanyakan: “Mengapa tak kau hanyutkan saja mimpi-mimpi lugu kemarin malam ? Apakah malaikat pun selalu memilih tempat ini saat ingin menenangkan diri ?

Selalu tak ada jawaban. Takkan pernah ada. Tapi, aku tetap melangkah menuju surgaku melampaui empat puluh langkah dewa dengan pikiran-pikiranku, sekalipun aku berjalan di atas kesalahan-kesalahanku. Sebab, mereka hanya menjadi penanda waktu yang memutar pegasnya, memainkan dadu-dadu.

Baiklah, kupertegas: candu untukkku, bukan untukmu. Dalam hatiku, ruang dan waktu pun menyatu takzim memujamu. Hanya sedikit Zarathustra bersabda – membuat orang-orang terkubur dengan keyakinan ganda. Tak lengkap. Menghambur kunci mulutku. Susah-payah kurangkai dengan bahasa sesabar batu.

Zarathustra tertawa dan berkata: “Apa persamaan kita dengan kuncup mawar yang gemetar karena dijatuhi setetes embun ? Cinta selalu mengandung kegilaan, tapi nalar juga selalu ada dalam kegilaan”.

Mereka pun satu persatu terusir, juga ketemu takdir. Menjelma dan tertawa dalam perjamuan asmaradana. Demikianlah aku terbiasa pada harap:

Denganmu ingin kutempuh sunyi, sampai nanti – saat kenyataan melesat dari hari ke hari.


Yogyakarta, 30 April 2017

Selasa, 04 April 2017

5 April, 24 Tahun yang Lalu


Anak lanang kedua yang dulu menghuni rahim ibu kini hampir berusia seperempat abad. Segala doa dan kebaikan selalu didaraskan oleh ayah dan ibu, namun gelap tetap menjadi bayangan hidupku”. 
***

Ternyata, sudah hampir tiba di penghujung hari kelahiran “lagi” karena ritual itu selalu terulang dan berulang terus – setidaknya sampai saat ini. Apa yang didapat mungkin belum seindah yang diharapkan. Tapi, mungkin itulah alasan kenapa aku masih diberikan kesempatan untuk bertahan. Sebaiknya, memang harus terus bersyukur karena hanya itu obat penghibur untuk tidak terlalu banyak mengeluh. Meskipun demikian, keluhan itu harus tetap ada sebagai penyadar diri bahwa sebenarnya dapat lebih baik dari sekarang. Satu hal yang pasti dan terpenting adalah tidak berhenti dan puas hanya dengan mengeluh saja.

Sebagai pribadi, belum banyak yang bisa didapatkan di tahun ini dan sebelumnya. Biasanya, hal-hal pribadi itu urusannya hanya sebatas “takdir” yang tidak jauh dari lahir, rejeki, jodoh, dan mati. Aku tidak paham tentang hal-hal itu dan aku tidak akan membuang-buang waktu hanya untuk memikirkan hal yang tak kumengerti. Anggap saja takdir itu misteri, dan satu hal yang bisa dilakukan untuk memecahkan misteri itu adalah “bertahan hidup dan hidup hari ini”.

Umumnya, tingkat kepatutan seseorang itu biasanya hanya dilihat dari apa yang biasa ditunjukkan (misalnya: karir, finansial, dan keluarga). Apakah aku pantas disebut “layak” kalau dilihat dari sudut itu ? Kupikir belum, karena aku belum bisa menjadi apapun sekarang. Lalu, apakah aku harus berhenti ? Sebaiknya jangan. Mengapa ? Mungkin, bukan di tahun ini aku bisa disebut “layak” soal hal-hal itu.

Setidaknya, masih ada kesempatan hidup untuk diriku sendiri, meskipun belum pantas untuk menghidupi anak orang lain. Setidaknya, masih ada waktu untuk bersosialisasi sebelum akhirnya waktu pun akan habis untuk diriku sendiri. Setidaknya, masih ada teman-teman menyebalkan yang selalu memiliki waktu untuk berbagi. Setidaknya, masih ada waktu untuk bisa berkumpul dan merasa sedikit muda (mungkin seperti terlahir kembali). Setidaknya, terus datang hiburan baru untuk membunuh waktu: memancing, membaca, dan mendengar lirik-lirik melankolis. Setidaknya, masih ada pertunjukan dan tontonan yang pantas untuk dinikmati dan didengarkan. Perform band-band indie dan dangdut yang kadang rugi untuk dilewatkan, tapi kadang harus merelakannya karena keterbatasan alasan. Setidaknya, masih ada sisa waktu untuk mengikuti pelaksanaan yudisium dan wisuda.

“Setidaknya”, hanya kata itu yang mengajarkan untuk tetap selalu bersyukur. Soal resolusi, aku tidak pandai beresolusi bertahan. Jalani saja hidup ini dan tidak perlu dibuat list seperti daftar belanjaan. Terus bertahan mensyukuri setiap kisah yang datang dan berganti dengan kisah yang baru dan pasti untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dari kemarin. Mengapa harus terpatok dengan resolusi ?

Terima kasih untuk semua hal menyenangkan dan menyebalkan yang selalu datang beriringan.


Bantul, 4 April 2017

Asap, Pekat, Gelap


Aku seperti dilahirkan di sana: di sekitar riuh hiruk-pikuk suara lantang, di antara dengungan distorsi panggung dan pertunjukan, di tengah-tengah sakitnya sebuah moshing dan mosphit.

Aku menikmatinya, aku menikmati kelahiranku. 

Di sana ada sebuah perjumpaan, cerca-makian, tangisan, kebahagiaan, dan semua proses yang tlah terlewati. Dan, kotak itu memiliki banyak nama: “sahabat”, “komunitas”, “geng”, atau bahkan “kumpulan bajingan”. Entah apapun namanya, namun aku menyebutnya “keluarga kedua”. 

Di sanalah sebuah mimpi segelintir manusia yang mencari jati diri dimulai. Tak mudah memang menyatukan banyak isi kepala, perbedaan, dan kepentingan, namun dari proses yang sangat sulit itulah aku belajar, mengeras, dan tak terpecahkan. Aku belajar mengerti, menilai, mengamati, dan merasakan banyak hal: solidaritas, kebersamaan, keegoisan, dan sulitnya menyatukan perbedaan. 

Sudah sejak lama banyak prasangka buruk tlah kubuang, banyak lembaran lama kubakar, dan banyak waktu tlah kuhabiskan. Sebenarnya, masih banyak hal yang ingin kupahami dan kupelajari, tapi waktu terlalu cepat berjalan. Era pun harus berubah. Lembaran baru seharusnya ditulis, bukan disalin!

Apapun akhirnya, sangat banyak manfaat dapat diambil setelah pernah menjadi bagian dari mereka: orang-orang yang memiliki beragam latar belakang.

Terima kasih atas waktu, yang akhirnya menjadi cerita.


Bantul, 4 April 2017

Kamis, 02 Maret 2017

Simpanan Ketidakpastian


Fatamorgana, fana, hampa, detik duka; semacam hantu atau penghalau rindu. Sekarang, semua kemurahan dan pemberian hanya akan memicu kemarahan. Sebab, orang-orang hanya memandangi seluruh kejadian dengan heran, tidak dipenuhi rasa muak. Bagiku, pembenci-pembenci harus dilampaui, atau dicintai. Belum pernah kudapati manusia luhur di sebuah tempat yang lebih tinggi.

“Apa yang kau cari ? Telah kusembah kehidupan, tapi kau pintal ketakutan. Pada rajutan, simpul, dan anyaman, kauhamparkan ketidakpastian. Dan belum cukup selesai, jadi santapan usia dan cemohan rangkaian fraktal”.

Aku tak membayangkan soal kematian. Ini hanya soal skenario tuhan yang mustahil kutaklukkan. Aku tak memikirkan apa-apa, atau menggubah puisi lama. Dalam keyatiman jiwa, tak perlu kau bertanya dan mencari alasan kenapa orang-orang selalu berkaca pada senja.

“Sudah cukupkah buatmu tahu bara yang kugenggam saat mentari memudar menemani sepinya malam-malam ?”

Takkan ada lagi sakit di ujung sana. Sekurang-kurangnya, mata batinku bertahan diam dan mengikat rantai sadar kepalsuan di sekeliling akal.

Inilah balada yang dirundung sepi, yang dikurung sunyi. Darah dan airmata hanyalah suguhan tarian kebingungan. Tapi tarbiz nyanyianmu selalu menggelisahkanku. Memang jauh engkau melempar batu. Jauh kentara semoksa Cinderella ditemukan pangeran berkuda. Pupus di ruang hampa yang takkan bisa dikejar dengan pertanyaan “mengapa”.

Entah bagaimana cerita ini akan tamat. Aku penasaran. Seperempat abad hanyalah kesia-siaan tanpa arti. Terlalu banyak aku berdusta dan tidak cakap dalam belajar. Kepercayaan tak membawa rahmat bagiku dan para pujangga.

“Adakah kau menatap rembulan yang sama malam ini: mengisi keletihan ? Aku akan pergi menggeriapkan mataku esok hari. Sementara ilalang menyuling airmata di cekung pipi”.

Kusebut senyum adiktifmu: kewanitaan abadi.
Tak perlu kaujawab pertanyaanku.


Salatiga, 2017

Jumat, 24 Februari 2017

Fragmen Pengembaraan


Thur, suatu saat nanti, dengan tenang aku bisa minum-minum arak, anggur, hingga whiskey di satu kota yang sama saat kau disersi, sampai hari-hari tak kunjung pagi. Akan kucari iblis yang dulu pernah memahkotaimu dengan bunga popi yang cantik, dan tujuh dosa tak terampuni.

Aku telah memainkan peran si dungu hingga hampir gila. Dalam diriku telah pudar semua harapan kemanusiaan. Dengan lompatan tangkas hewan buas, tlah kucabik-cabik semua kegembiraan.

Andai sakitku hilang, arah mana kan kujelang ? Terhadap aturan-aturan, terhadap tradisi, terhadap kemapanan, dan tentu saja terhadap tradisi berpuisi ?

Akan kuberikan juga kepadamu beberapa halaman dungu dari buku harian milikku.

Thur, kau mati membisikkan peringatan perihnya kebebasan. Dunia jatuh cinta padamu dan puisi-puisimu.


Salatiga, 2014-2017

Senin, 20 Februari 2017

Refleksi Kesunyian


Aku melupakan kegairahan di sekujur tubuhmu, dimana anak-anak tangga adalah buih vodka di balik bibirmu,
Biarkanku hilang tanpa arti di kekhalifahan sunyi.
Mabuk merengkuhmu, memanggul anggur: menjelmakan pelarian, menikmati kematian.
Kematian, memberikanku candu.


Bantul, 20 Februari 2017

Postcard Untuk Simbok-Bapak



––– untuk simbok-bapak yang menunggu kepulangan aksara

Kawan lain sudah kawin-mawin, beranak-pinak, bersanak-keluarga. Tapi, banyak pula yang pisah jadi duda-janda muda. Pun yang masih bertahan: kerja sekenanya. Hari-hari lewat cepat. Yang sukses, ya berbahagia. Yang sarjana, ya dijunjung bak bendoro istana. Ada yang ingin mendapat hikmah dan menyebutnya sebagai karunia, lainnya ingin melambung di angkasa.

Mbok, aku masih di tempat, belum apa-apa. Timang-timanglah aku lebih tinggi. Kegusaran ini mengucap semau-maunya tentang apa yang harus disebut dengan kenyataan atau bukan. Mbok, aku lupa cara memikul beban 40 kilo di punggung dan kepala. Ah, itu tlah lampau berlalu, 5 tahun lalu. Apa mbok masih kuat memanggulnya bersamaku ? Jika tidak, ajari lagi saja. Tapi, engkau nampak berbeda, mbok. Tak lagi hangat seperti dulu. Kepada pundak mana harus kusandarkan ? Kepada tubuh mana harus kurebahkan, jika bukan padamu ?

Mbok, buatlah aku bermimpi tanpa harus tidur, sembari kau ceritakan tentang orang-orang yang mati muda di pangkuan. Dongengkanlah juga kisah “tanah indah” yang jadi saksi menyaksikanku mati, hingga semuanya terasa lebih indah dan nyata. Tanpamu takkan sama, tanpamu semua berbeda.

Ah, bapak. Dunia yang kau tawarkan, dunia serba gampang, cuma hati yang berat buat dibuka, mesti tinggal memilih dan meminta. Ah, bapak. Aku tak butuhkan suatu dari dunia. Aku cuma butuhkan orang-orang tercinta, hati terbuka, senyum tawa: dunia tanpa duka, tanpa takut – sebuah dunia dimana kata “kompromi” dan “toleransi” takkan terdengar absurd di telinga.

Pak-mbok, mungkin dunia kita memang belum bisa dibilang sempurna, namun dunia kita tetaplah beririsan, sekalipun irisan itu kecil dan berbeda: irisan kecil surga dalam neraka. Pak-mbok, mungkin suatu saat nanti akan ada nuklir jatuh yang takkan merusak tatanan, melainkan hanya menghapus ingatan dan memutus syaraf tentang pikiran-pikiran mainstream di kepala.

Beribu terima kasih, simbok-bapak. Terima kasih telah mengumpulkan banyak sekali kisah mengagumkan yang menggambarkan drama suka-duka, cobaan, perjuangan sekaligus berkah dalam kehidupan.

Pak-mbok, adakah aku durhaka ? Ampunkanlah aku jika selama ini hanya berbuat dosa. Tak sanggup diriku menanggung serapah dan murka. Terangilah jalanku dengan rapal doa, tanpa hujatan kafir dan murtad. Karena, cinta tak selalu membutuhkan pertanyaan “mengapa”.

Pak-mbok, Tuhan pun tahu, dengan dosa kupanjatkan surga.

Salam cinta dari dunia maya !


Bantul, 20 Februari 2017

Minggu, 19 Februari 2017

Anggur Merah


Dengan tawa meruah, seperti anggur merah:
secepat itu – angin mengecup dadamu,
dalam buaian dahan-dahan dedalu.
Betapa dalam aku minum,
nafasmu yang manis
menertawaiku: mabuk dan liar,
saat embusan angin menciummu:
mencekik kasta kalimatku !



Sleman, 19 Februari 2017

Selasa, 14 Februari 2017

P R T S !


Apakah ada ungkapan yang dapat mewakili isi pikiran dan perasaanku saat ini ? Atau, adakah syair yang patut dilantunkan sebagai bentuk protes terhadap waktu ? Di mana perasaan orang-orang itu ? Kapan aku pergi dari neraka ini ? Mengapa aku masuk dalam neraka ini ? Bolehkah aku menentang garis tangan ini ? Jika tidak, dan aku harus pasrah, mengapa ini semua terjadi padaku ?

Aku yakin, ini adalah skenario rapi yang telah dipersiapkan untukku. Bukan terjadi begitu saja tanpa alur. Ya, untukku, meskipun aku takkan pernah tahu apa maksud dari ini semua. Karma, pendewasaan, belajar ikhlas menghadapi kehilangan, ujian hidup, bla bla bla...

Jika itu adalah maksud tersirat dari inti semua ini, aku akan berkata, “Tanpa itu semua, aku bisa. Tanpa ujian itu, aku lulus. Tanpa dikorbankan, aku akan tetap kuat. Tanpa menghilangkan, aku ikhlas. Tanpa dalih pendewasaan, aku baligh”.

Ya, aku bisa tanpa harus selalu menjadi pesakitan yang terkorban. Apabila hikmah itu ada, biar hikmah itu aku tinggal. Takkan kucari lagi. Akan kubuang, dan takkan lagi kuperhatikan. Sesal tiada arti ! Akan kukutuk kesendirian ini. Akan kuserapahi kesepianku. Dan, akan kuperjuangkan segala cita-cita dan keinginanku, sampai semua tercapai. Lalu, kupertanggungjawabkan semua yang telah kulalui.

Empatbelas dua duaributujuhbelas, sebelas empatpuluhenam malam; Aku nyatakan “protes” !


Bantul, 14 Februari 2017