Minggu, 30 April 2017

Andai yang Kutahu Hanya Itu


––– diadopsi dari “Sabda Zarathustra” karya Friedrich Nietzsche

Daun-daun gugur terbawa angin santer di sela janji yang menjanjikan, sampai sekian lama mempersempit jalan buntu. Kenapa harus bersedih oleh kekalahan, kalau kau sendiri takkan bergembira oleh kemenangan ? Masihkah kau percaya omong besar mereka saat bertepuk dada ? Kalau mau memukul, pukullah saron atau bonang – jangan memukul nasibku !

Tapi, aku malu terhadap penantianku. Aku pun memahami senyum sendumu: kelembutan di antara semua petani kelapa dan aritnya. Sesungguhnya, Zarathustra pun takkan mampu melihat kelimpahan pesonamu. Bagaimana lagi masa depan dan masalalu disatukan jika tidak denganmu ? Siapa yang dapat menemukan nama baptis dan penghormatan untuk kerinduan seperti itu ?

Di ruang berobituari, lekat kupandang lilin nyala di kamar temaram: tempat dulu sendok kopi berdenting menggeriapkan pandang dan menyatukan sekalian debu. Terberkatilah kabut pekat yang menjelma hangat bayang dirimu. Maka, biarkanlah hening malam tercipta; resahkan rasa. Akan kuajarkan menebak teka-teki menembus kebetulan-kebetulan dalam tirakat panjang.

Belum pernah aku menemukan sebuah kedatangan yang tak terbaca oleh semua prasangka. Aku terdampar kemari dalam batas kegilaan dan kewarasan, dimana taman-taman bunga diupacarai dan ditebangi.

Kau tutur berbagai peristiwa dan ragamnya:

Di luar, laba-laba mencipta maut lain, menjembatani para lebah yang tak dapat pulang. Mereka tertatih minta diterjemahkan meski dingin masih lagi bertandang; hinggap dan menggelepar sembari menawarkan sekuntum mimpi agar utuh satu saja kenanganku.

Itulah rasa muakku pada semua asal-keberadaan !

Lihatlah, leleh airmataku ketika kutanyakan: “Mengapa tak kau hanyutkan saja mimpi-mimpi lugu kemarin malam ? Apakah malaikat pun selalu memilih tempat ini saat ingin menenangkan diri ?

Selalu tak ada jawaban. Takkan pernah ada. Tapi, aku tetap melangkah menuju surgaku melampaui empat puluh langkah dewa dengan pikiran-pikiranku, sekalipun aku berjalan di atas kesalahan-kesalahanku. Sebab, mereka hanya menjadi penanda waktu yang memutar pegasnya, memainkan dadu-dadu.

Baiklah, kupertegas: candu untukkku, bukan untukmu. Dalam hatiku, ruang dan waktu pun menyatu takzim memujamu. Hanya sedikit Zarathustra bersabda – membuat orang-orang terkubur dengan keyakinan ganda. Tak lengkap. Menghambur kunci mulutku. Susah-payah kurangkai dengan bahasa sesabar batu.

Zarathustra tertawa dan berkata: “Apa persamaan kita dengan kuncup mawar yang gemetar karena dijatuhi setetes embun ? Cinta selalu mengandung kegilaan, tapi nalar juga selalu ada dalam kegilaan”.

Mereka pun satu persatu terusir, juga ketemu takdir. Menjelma dan tertawa dalam perjamuan asmaradana. Demikianlah aku terbiasa pada harap:

Denganmu ingin kutempuh sunyi, sampai nanti – saat kenyataan melesat dari hari ke hari.


Yogyakarta, 30 April 2017

Tidak ada komentar :