––– diadopsi dari “Sabda Zarathustra” karya Friedrich Nietzsche
Daun-daun gugur terbawa angin santer di sela janji yang menjanjikan, sampai sekian lama mempersempit jalan buntu. Kenapa harus bersedih oleh kekalahan, kalau kau sendiri takkan bergembira oleh kemenangan ? Masihkah kau percaya omong besar mereka saat bertepuk dada ? Kalau mau memukul, pukullah saron atau bonang – jangan memukul nasibku !
Tapi, aku malu terhadap penantianku. Aku pun memahami senyum sendumu: kelembutan di antara semua petani kelapa dan aritnya. Sesungguhnya, Zarathustra pun takkan mampu melihat kelimpahan pesonamu. Bagaimana lagi masa depan dan masalalu disatukan jika tidak denganmu ? Siapa yang dapat menemukan nama baptis dan penghormatan untuk kerinduan seperti itu ?
Di ruang berobituari, lekat kupandang lilin nyala di kamar temaram: tempat dulu sendok kopi berdenting menggeriapkan pandang dan menyatukan sekalian debu. Terberkatilah kabut pekat yang menjelma hangat bayang dirimu. Maka, biarkanlah hening malam tercipta; resahkan rasa. Akan kuajarkan menebak teka-teki menembus kebetulan-kebetulan dalam tirakat panjang.
Belum pernah aku menemukan sebuah kedatangan yang tak terbaca oleh semua prasangka. Aku terdampar kemari dalam batas kegilaan dan kewarasan, dimana taman-taman bunga diupacarai dan ditebangi.
Kau tutur berbagai peristiwa dan ragamnya:
Di luar, laba-laba mencipta maut lain, menjembatani para lebah yang tak dapat pulang. Mereka tertatih minta diterjemahkan meski dingin masih lagi bertandang; hinggap dan menggelepar sembari menawarkan sekuntum mimpi agar utuh satu saja kenanganku.
Itulah rasa muakku pada semua asal-keberadaan !
Lihatlah, leleh airmataku ketika kutanyakan: “Mengapa tak kau hanyutkan saja mimpi-mimpi lugu kemarin malam ? Apakah malaikat pun selalu memilih tempat ini saat ingin menenangkan diri ?”
Selalu tak ada jawaban. Takkan pernah ada. Tapi, aku tetap melangkah menuju surgaku melampaui empat puluh langkah dewa dengan pikiran-pikiranku, sekalipun aku berjalan di atas kesalahan-kesalahanku. Sebab, mereka hanya menjadi penanda waktu yang memutar pegasnya, memainkan dadu-dadu.
Baiklah, kupertegas: candu untukkku, bukan untukmu. Dalam hatiku, ruang dan waktu pun menyatu takzim memujamu. Hanya sedikit Zarathustra bersabda – membuat orang-orang terkubur dengan keyakinan ganda. Tak lengkap. Menghambur kunci mulutku. Susah-payah kurangkai dengan bahasa sesabar batu.
Zarathustra tertawa dan berkata: “Apa persamaan kita dengan kuncup mawar yang gemetar karena dijatuhi setetes embun ? Cinta selalu mengandung kegilaan, tapi nalar juga selalu ada dalam kegilaan”.
Mereka pun satu persatu terusir, juga ketemu takdir. Menjelma dan tertawa dalam perjamuan asmaradana. Demikianlah aku terbiasa pada harap:
Denganmu ingin kutempuh sunyi, sampai nanti – saat kenyataan melesat dari hari ke hari.
Yogyakarta, 30 April 2017
Daun-daun gugur terbawa angin santer di sela janji yang menjanjikan, sampai sekian lama mempersempit jalan buntu. Kenapa harus bersedih oleh kekalahan, kalau kau sendiri takkan bergembira oleh kemenangan ? Masihkah kau percaya omong besar mereka saat bertepuk dada ? Kalau mau memukul, pukullah saron atau bonang – jangan memukul nasibku !
Tapi, aku malu terhadap penantianku. Aku pun memahami senyum sendumu: kelembutan di antara semua petani kelapa dan aritnya. Sesungguhnya, Zarathustra pun takkan mampu melihat kelimpahan pesonamu. Bagaimana lagi masa depan dan masalalu disatukan jika tidak denganmu ? Siapa yang dapat menemukan nama baptis dan penghormatan untuk kerinduan seperti itu ?
Di ruang berobituari, lekat kupandang lilin nyala di kamar temaram: tempat dulu sendok kopi berdenting menggeriapkan pandang dan menyatukan sekalian debu. Terberkatilah kabut pekat yang menjelma hangat bayang dirimu. Maka, biarkanlah hening malam tercipta; resahkan rasa. Akan kuajarkan menebak teka-teki menembus kebetulan-kebetulan dalam tirakat panjang.
Belum pernah aku menemukan sebuah kedatangan yang tak terbaca oleh semua prasangka. Aku terdampar kemari dalam batas kegilaan dan kewarasan, dimana taman-taman bunga diupacarai dan ditebangi.
Kau tutur berbagai peristiwa dan ragamnya:
Di luar, laba-laba mencipta maut lain, menjembatani para lebah yang tak dapat pulang. Mereka tertatih minta diterjemahkan meski dingin masih lagi bertandang; hinggap dan menggelepar sembari menawarkan sekuntum mimpi agar utuh satu saja kenanganku.
Itulah rasa muakku pada semua asal-keberadaan !
Lihatlah, leleh airmataku ketika kutanyakan: “Mengapa tak kau hanyutkan saja mimpi-mimpi lugu kemarin malam ? Apakah malaikat pun selalu memilih tempat ini saat ingin menenangkan diri ?”
Selalu tak ada jawaban. Takkan pernah ada. Tapi, aku tetap melangkah menuju surgaku melampaui empat puluh langkah dewa dengan pikiran-pikiranku, sekalipun aku berjalan di atas kesalahan-kesalahanku. Sebab, mereka hanya menjadi penanda waktu yang memutar pegasnya, memainkan dadu-dadu.
Baiklah, kupertegas: candu untukkku, bukan untukmu. Dalam hatiku, ruang dan waktu pun menyatu takzim memujamu. Hanya sedikit Zarathustra bersabda – membuat orang-orang terkubur dengan keyakinan ganda. Tak lengkap. Menghambur kunci mulutku. Susah-payah kurangkai dengan bahasa sesabar batu.
Zarathustra tertawa dan berkata: “Apa persamaan kita dengan kuncup mawar yang gemetar karena dijatuhi setetes embun ? Cinta selalu mengandung kegilaan, tapi nalar juga selalu ada dalam kegilaan”.
Mereka pun satu persatu terusir, juga ketemu takdir. Menjelma dan tertawa dalam perjamuan asmaradana. Demikianlah aku terbiasa pada harap:
Denganmu ingin kutempuh sunyi, sampai nanti – saat kenyataan melesat dari hari ke hari.
Yogyakarta, 30 April 2017