Jumat, 24 Februari 2017

Fragmen Pengembaraan


Thur, suatu saat nanti, dengan tenang aku bisa minum-minum arak, anggur, hingga whiskey di satu kota yang sama saat kau disersi, sampai hari-hari tak kunjung pagi. Akan kucari iblis yang dulu pernah memahkotaimu dengan bunga popi yang cantik, dan tujuh dosa tak terampuni.

Aku telah memainkan peran si dungu hingga hampir gila. Dalam diriku telah pudar semua harapan kemanusiaan. Dengan lompatan tangkas hewan buas, tlah kucabik-cabik semua kegembiraan.

Andai sakitku hilang, arah mana kan kujelang ? Terhadap aturan-aturan, terhadap tradisi, terhadap kemapanan, dan tentu saja terhadap tradisi berpuisi ?

Akan kuberikan juga kepadamu beberapa halaman dungu dari buku harian milikku.

Thur, kau mati membisikkan peringatan perihnya kebebasan. Dunia jatuh cinta padamu dan puisi-puisimu.


Salatiga, 2014-2017

Senin, 20 Februari 2017

Refleksi Kesunyian


Aku melupakan kegairahan di sekujur tubuhmu, dimana anak-anak tangga adalah buih vodka di balik bibirmu,
Biarkanku hilang tanpa arti di kekhalifahan sunyi.
Mabuk merengkuhmu, memanggul anggur: menjelmakan pelarian, menikmati kematian.
Kematian, memberikanku candu.


Bantul, 20 Februari 2017

Postcard Untuk Simbok-Bapak



––– untuk simbok-bapak yang menunggu kepulangan aksara

Kawan lain sudah kawin-mawin, beranak-pinak, bersanak-keluarga. Tapi, banyak pula yang pisah jadi duda-janda muda. Pun yang masih bertahan: kerja sekenanya. Hari-hari lewat cepat. Yang sukses, ya berbahagia. Yang sarjana, ya dijunjung bak bendoro istana. Ada yang ingin mendapat hikmah dan menyebutnya sebagai karunia, lainnya ingin melambung di angkasa.

Mbok, aku masih di tempat, belum apa-apa. Timang-timanglah aku lebih tinggi. Kegusaran ini mengucap semau-maunya tentang apa yang harus disebut dengan kenyataan atau bukan. Mbok, aku lupa cara memikul beban 40 kilo di punggung dan kepala. Ah, itu tlah lampau berlalu, 5 tahun lalu. Apa mbok masih kuat memanggulnya bersamaku ? Jika tidak, ajari lagi saja. Tapi, engkau nampak berbeda, mbok. Tak lagi hangat seperti dulu. Kepada pundak mana harus kusandarkan ? Kepada tubuh mana harus kurebahkan, jika bukan padamu ?

Mbok, buatlah aku bermimpi tanpa harus tidur, sembari kau ceritakan tentang orang-orang yang mati muda di pangkuan. Dongengkanlah juga kisah “tanah indah” yang jadi saksi menyaksikanku mati, hingga semuanya terasa lebih indah dan nyata. Tanpamu takkan sama, tanpamu semua berbeda.

Ah, bapak. Dunia yang kau tawarkan, dunia serba gampang, cuma hati yang berat buat dibuka, mesti tinggal memilih dan meminta. Ah, bapak. Aku tak butuhkan suatu dari dunia. Aku cuma butuhkan orang-orang tercinta, hati terbuka, senyum tawa: dunia tanpa duka, tanpa takut – sebuah dunia dimana kata “kompromi” dan “toleransi” takkan terdengar absurd di telinga.

Pak-mbok, mungkin dunia kita memang belum bisa dibilang sempurna, namun dunia kita tetaplah beririsan, sekalipun irisan itu kecil dan berbeda: irisan kecil surga dalam neraka. Pak-mbok, mungkin suatu saat nanti akan ada nuklir jatuh yang takkan merusak tatanan, melainkan hanya menghapus ingatan dan memutus syaraf tentang pikiran-pikiran mainstream di kepala.

Beribu terima kasih, simbok-bapak. Terima kasih telah mengumpulkan banyak sekali kisah mengagumkan yang menggambarkan drama suka-duka, cobaan, perjuangan sekaligus berkah dalam kehidupan.

Pak-mbok, adakah aku durhaka ? Ampunkanlah aku jika selama ini hanya berbuat dosa. Tak sanggup diriku menanggung serapah dan murka. Terangilah jalanku dengan rapal doa, tanpa hujatan kafir dan murtad. Karena, cinta tak selalu membutuhkan pertanyaan “mengapa”.

Pak-mbok, Tuhan pun tahu, dengan dosa kupanjatkan surga.

Salam cinta dari dunia maya !


Bantul, 20 Februari 2017

Minggu, 19 Februari 2017

Anggur Merah


Dengan tawa meruah, seperti anggur merah:
secepat itu – angin mengecup dadamu,
dalam buaian dahan-dahan dedalu.
Betapa dalam aku minum,
nafasmu yang manis
menertawaiku: mabuk dan liar,
saat embusan angin menciummu:
mencekik kasta kalimatku !



Sleman, 19 Februari 2017

Selasa, 14 Februari 2017

P R T S !


Apakah ada ungkapan yang dapat mewakili isi pikiran dan perasaanku saat ini ? Atau, adakah syair yang patut dilantunkan sebagai bentuk protes terhadap waktu ? Di mana perasaan orang-orang itu ? Kapan aku pergi dari neraka ini ? Mengapa aku masuk dalam neraka ini ? Bolehkah aku menentang garis tangan ini ? Jika tidak, dan aku harus pasrah, mengapa ini semua terjadi padaku ?

Aku yakin, ini adalah skenario rapi yang telah dipersiapkan untukku. Bukan terjadi begitu saja tanpa alur. Ya, untukku, meskipun aku takkan pernah tahu apa maksud dari ini semua. Karma, pendewasaan, belajar ikhlas menghadapi kehilangan, ujian hidup, bla bla bla...

Jika itu adalah maksud tersirat dari inti semua ini, aku akan berkata, “Tanpa itu semua, aku bisa. Tanpa ujian itu, aku lulus. Tanpa dikorbankan, aku akan tetap kuat. Tanpa menghilangkan, aku ikhlas. Tanpa dalih pendewasaan, aku baligh”.

Ya, aku bisa tanpa harus selalu menjadi pesakitan yang terkorban. Apabila hikmah itu ada, biar hikmah itu aku tinggal. Takkan kucari lagi. Akan kubuang, dan takkan lagi kuperhatikan. Sesal tiada arti ! Akan kukutuk kesendirian ini. Akan kuserapahi kesepianku. Dan, akan kuperjuangkan segala cita-cita dan keinginanku, sampai semua tercapai. Lalu, kupertanggungjawabkan semua yang telah kulalui.

Empatbelas dua duaributujuhbelas, sebelas empatpuluhenam malam; Aku nyatakan “protes” !


Bantul, 14 Februari 2017