Fatamorgana, fana, hampa, detik duka; semacam hantu atau penghalau rindu. Sekarang, semua kemurahan dan pemberian hanya akan memicu kemarahan. Sebab, orang-orang hanya memandangi seluruh kejadian dengan heran, tidak dipenuhi rasa muak. Bagiku, pembenci-pembenci harus dilampaui, atau dicintai. Belum pernah kudapati manusia luhur di sebuah tempat yang lebih tinggi.
“Apa yang kau cari ? Telah kusembah kehidupan, tapi kau pintal ketakutan. Pada rajutan, simpul, dan anyaman, kauhamparkan ketidakpastian. Dan belum cukup selesai, jadi santapan usia dan cemohan rangkaian fraktal”.
Aku tak membayangkan soal kematian. Ini hanya soal skenario tuhan yang mustahil kutaklukkan. Aku tak memikirkan apa-apa, atau menggubah puisi lama. Dalam keyatiman jiwa, tak perlu kau bertanya dan mencari alasan kenapa orang-orang selalu berkaca pada senja.
“Sudah cukupkah buatmu tahu bara yang kugenggam saat mentari memudar menemani sepinya malam-malam ?”
Takkan ada lagi sakit di ujung sana. Sekurang-kurangnya, mata batinku bertahan diam dan mengikat rantai sadar kepalsuan di sekeliling akal.
Inilah balada yang dirundung sepi, yang dikurung sunyi. Darah dan airmata hanyalah suguhan tarian kebingungan. Tapi tarbiz nyanyianmu selalu menggelisahkanku. Memang jauh engkau melempar batu. Jauh kentara semoksa Cinderella ditemukan pangeran berkuda. Pupus di ruang hampa yang takkan bisa dikejar dengan pertanyaan “mengapa”.
Entah bagaimana cerita ini akan tamat. Aku penasaran. Seperempat abad hanyalah kesia-siaan tanpa arti. Terlalu banyak aku berdusta dan tidak cakap dalam belajar. Kepercayaan tak membawa rahmat bagiku dan para pujangga.
“Adakah kau menatap rembulan yang sama malam ini: mengisi keletihan ? Aku akan pergi menggeriapkan mataku esok hari. Sementara ilalang menyuling airmata di cekung pipi”.
Kusebut senyum adiktifmu: kewanitaan abadi.
Tak perlu kaujawab pertanyaanku.
Salatiga, 2017
“Apa yang kau cari ? Telah kusembah kehidupan, tapi kau pintal ketakutan. Pada rajutan, simpul, dan anyaman, kauhamparkan ketidakpastian. Dan belum cukup selesai, jadi santapan usia dan cemohan rangkaian fraktal”.
Aku tak membayangkan soal kematian. Ini hanya soal skenario tuhan yang mustahil kutaklukkan. Aku tak memikirkan apa-apa, atau menggubah puisi lama. Dalam keyatiman jiwa, tak perlu kau bertanya dan mencari alasan kenapa orang-orang selalu berkaca pada senja.
“Sudah cukupkah buatmu tahu bara yang kugenggam saat mentari memudar menemani sepinya malam-malam ?”
Takkan ada lagi sakit di ujung sana. Sekurang-kurangnya, mata batinku bertahan diam dan mengikat rantai sadar kepalsuan di sekeliling akal.
Inilah balada yang dirundung sepi, yang dikurung sunyi. Darah dan airmata hanyalah suguhan tarian kebingungan. Tapi tarbiz nyanyianmu selalu menggelisahkanku. Memang jauh engkau melempar batu. Jauh kentara semoksa Cinderella ditemukan pangeran berkuda. Pupus di ruang hampa yang takkan bisa dikejar dengan pertanyaan “mengapa”.
Entah bagaimana cerita ini akan tamat. Aku penasaran. Seperempat abad hanyalah kesia-siaan tanpa arti. Terlalu banyak aku berdusta dan tidak cakap dalam belajar. Kepercayaan tak membawa rahmat bagiku dan para pujangga.
“Adakah kau menatap rembulan yang sama malam ini: mengisi keletihan ? Aku akan pergi menggeriapkan mataku esok hari. Sementara ilalang menyuling airmata di cekung pipi”.
Kusebut senyum adiktifmu: kewanitaan abadi.
Tak perlu kaujawab pertanyaanku.
Salatiga, 2017