––– diadopsi dari puisi “Bimbang” karya Emha Ainun Nadjib
Bukankah, tiap orang memikul kebenaran, seperti Yesus memikul salibnya ?
Bukankah, tiap orang memiliki bakat jatuh, seperti jatuhnya Adam-Hawa dari nirwana ?
Bukankah, anjing selalu setia meski diharamkan ?
Bukankah, lingkaran takkan koyak oleh runcingnya pentagram ?
Ayub memahami makna sakit, Yunus menghayati konyolnya keputusasaan, Ibrahim tahu apa yang musti dilawan dengan kapak, Musa ngerti ilmu sihir – dari zaman ular hingga industri
Adapun kita, merelakan diri jadi bahan tertawaan;
disingkirkan dan berusaha bertahan dari kesepian
2011
Bukankah, tiap orang memiliki bakat jatuh, seperti jatuhnya Adam-Hawa dari nirwana ?
Bukankah, anjing selalu setia meski diharamkan ?
Bukankah, lingkaran takkan koyak oleh runcingnya pentagram ?
Ayub memahami makna sakit, Yunus menghayati konyolnya keputusasaan, Ibrahim tahu apa yang musti dilawan dengan kapak, Musa ngerti ilmu sihir – dari zaman ular hingga industri
Adapun kita, merelakan diri jadi bahan tertawaan;
disingkirkan dan berusaha bertahan dari kesepian
2011